Di tengah hiruk-pikuk Kota Madiun yang semakin modern, ada satu sudut yang tetap setia menjaga kehangatan tradisi: Bundaran Serayu. Setiap pagi, tempat ini bukan sekadar titik lalu lintas—ia berubah menjadi ruang hidup, tempat warga saling menyapa, berbagi cerita, dan menikmati semangkuk Soto Lamongan yang legendaris.

🌤️ Pagi yang Hangat, Aroma yang Menggoda
Jam menunjukkan pukul 06.30. Kabut tipis masih menyelimuti jalanan, tapi di lapak kecil dekat bundaran, Pak Slamet sudah sibuk menyiapkan dagangannya. Soto Lamongan racikannya bukan sembarang soto—kuahnya bening kekuningan, suwiran ayam kampungnya lembut, dan koya buatan sendiri memberi sentuhan gurih yang khas.

“Kalau belum sarapan di sini, rasanya belum mulai hari,” ujar Bu Rini, pelanggan setia yang selalu datang bersama suaminya sejak tahun 2010.

👥 Lebih dari Sekadar Sarapan
Di sekitar lapak, suasana pagi terasa hidup. Anak-anak bersepeda sambil tertawa, lansia melakukan senam ringan, dan para pekerja bersiap memulai hari. Soto Pak Slamet menjadi titik temu lintas generasi—tempat di mana obrolan ringan tentang cuaca, harga cabai, atau pertandingan sepak bola lokal mengalir begitu saja.

“Kadang ada mahasiswa yang mampir, kadang juga pejabat. Tapi semua duduk sama rata di bangku plastik ini,” kata Pak Slamet sambil tersenyum.

🏙️ Madiun yang Ramah dan Bersahaja
Bundaran Serayu bukan tempat wisata yang megah, tapi justru di sinilah jiwa Madiun terasa paling nyata. Tradisi ngopi pagi dan sarapan soto bukan hanya soal makanan, tapi tentang kebersamaan, tentang rasa memiliki kota ini.

Madiun bukan hanya tentang kereta api atau taman kota—ia juga tentang cerita kecil yang hangat, tentang Pak Slamet dan soto racikannya, tentang pagi yang dimulai dengan senyum dan semangkuk harapan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Masuk

Daftar

Setel Ulang Kata Sandi

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email, anda akan menerima tautan untuk membuat kata sandi baru melalui email.